Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
OPINI

Krisis Perhatian: Sebab Pokok Krisis Pembebasan

×

Krisis Perhatian: Sebab Pokok Krisis Pembebasan

Sebarkan artikel ini
Pulau Flores
Menolak Proyek Geothermal di Pulau Flores (Foto Melki Deni)
Example 468x60

 

Melki Deni, S. Fil

Example 300x600

Alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (Sekarang, Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif) Ledalero, NTT, dan sedang belajar teologi di Universidad Pontificia Comillas, Madrid, Spanyol.

 

Saat ini krisis perhatian kemanusiaan sebagian besar terkait dengan penggunaan ponsel pintar yang berlebihan dan kecanduan online di ruang digital. Di ruang ini, mata dengan cepat meluncur melewati gambar dan video tanpa menyelami secara mendalam atau berlama-lama pada satu konten media.

Hal ini mengikuti inersia dari pembaruan terus-menerus konten media. Byung-Chul Han (2020,10) berpendapat bahwa “Pembaruan yang terus-menerus, yang pada saat yang sama mencakup semua bidang kehidupan, tidak memungkinkan adanya durasi atau penyelesaian”.

Berdasarkan logika yang berlawanan dengan intuisi, baik berpikir maupun membaca membutuhkan “perhatian mendalam”, artinya, memiliki durasi.

Seorang siswa yang baik perlu dimotivasi oleh guru dan tutor mereka dalam jenis persepsi ini, yang sangat bertolak belakang dengan persepsi digital yang menyita sebagian besar waktu mereka untu membaca, berpikir, menganalisis, dan mempertimbangkan sesuatu. Kebijaksanaan hati, perhatian penuh, dan ketahanan konsentrasi secara ajaib saling terkait.

Berdasarkan logika yang berlawanan dengan intuisi, di dunia digital, perhatian dilatih pada “yang bersifat aditif”, yaitu, pada yang belum selesai, pada apa yang tergesa-gesa tanpa makna atau arah apa pun. Karena alasan ini, tidak ada kemungkinan penangguhan perhatian di dunia digital.

Menurut Byung-Chul Han (2015, 31): “Waktu jaringan adalah waktu sekarang (Jetz-Zeit) yang terputus-putus dan segera berlalu. Ia berpindah dari satu tautan ke tautan lain, dari satu waktu ke waktu berikutnya […] jika terlalu lama hanya akan menyebabkan kebosanan”.

Saat ini, persepsi terganggu oleh pemikiran aditif; pemikiran aditif sebagai “pemahaman berturut-turut terhadap sesuatu yang baru” sangat berbahaya bagi perhatian.

Memori manusia bergantung pada “pengulangan”, sebuah contoh yang sangat bertentangan dengan sifat “serial” dari “sifat aditif”, yaitu, sesuatu yang tidak menyimpulkan atau menyelidiki lebih dalam.

Prinsip aditif, yang melekat pada dunia digital, menyebabkan semuanya menumpuk. Informasi dan gambar yang dilihat di ponsel pintar, komputer, tablet, ipad atau laptop kita terakumulasi dalam memori manusia, dan tetap berada di sana berdasarkan logika “ruang penyimpanan”. Arsitektur naratif memori manusia, yang didasarkan pada penangguhan, menurun dan digantikan oleh logika aditif.

Pikiran menjadi penuh dengan konten, dan mata kehilangan kemampuan untuk “memandang dengan penuh perhatian” dan hati tidak mampu respek terhadap masalah-masalah sosial, korupsi, penambangan, perdagangan manusia, bunuh diri, jebakan prostitusi, pornografi, aborsi, pemerkosaan, kerusakan lingkungan hidup, dll.

Byung-Chul Han (2016, 10) mengatakan bahwa “Memori saat ini menjadi tumpukan sampah dan data, ia kehilangan kondisi naratifnya dan menjadi ‘ruang penyimpanan’, yang dipenuhi dengan massa semua kemungkinan gambar, yang tidak terawat dengan baik dan sama sekali tidak teratur”.

Ruang digital juga memengaruhi mata manusia, yang dilatih untuk “berputar” yakni untuk menjelajah tanpa sampai pada apa pun yang mengandaikan kesimpulan atau penangguhan.

Gambar dan video digital yang berlimpah dan tersebar luas di Internet mengancam wawasan manusia secara berbahaya. Bagi Byung-Chul Han (2016, 9), “Saat ini, wawasan tidak dapat disimpulkan, karena wawasan tersebut bergerak cepat melalui jaringan digital yang tak berujung. Perubahan gambar yang cepat membuat mata tidak dapat ditutup […] antara gambar dan mata, terjadi kontak langsung”.

Membaca dan belajar, bagaimanapun, berarti berpikir, mempersoalkan, menginterpretasikan, mempertimbangkan, mencari jalan keluar dan menyimpulkan berlama-lama. Membaca berarti membuka jendela baru rentang waktu dan makna, itulah sebabnya mengapa kita bisa berlama-lama membaca apa pun.

Saat ini, mata manusia, yang terbiasa dengan teknologi digital, tidak dapat berlama-lama; oleh karena itu, ia tidak tahu cara membaca. Pandangan masa kini tidak mampu bertahan lama untuk membaca atau sekadar memejamkan mata: Selalu ada gairah yang tinggi untuk ada di ruang digital.

Dalam bukunya, La sociedad del cansancio, Byung-Chul Han menggunakan ide-ide Nietzsche untuk menyoroti “pedagogi melihat”. Pedagogi ini mengekspresikan kebutuhan akan ketenangan mata, kebutuhan untuk bertahan lama dan melihat dengan saksama.

Byung-Chul Han (2012, 53) menegaskan bahwa “Belajar untuk melihat berarti membiasakan mata untuk melihat dengan tenang dan sabar […] melatih mata untuk perhatian yang dalam dan kontemplatif, untuk pandangan yang panjang dan tenang […] menurut Nietzsche seseorang harus belajar ‘untuk tidak segera menanggapi dorongan, tetapi untuk mengendalikan naluri yang menghambat dan mengakhiri sesuatu’”.

Bila seseorang menyerah pada dorongan dan kecanduan dunia digital, ia tidak dapat lagi berlama-lama pada sesuatu, yaitu, bertahan, menghentikan arus untuk membuka ruang bagi penangguhan, perenungan, dan penghapusan bacaan.

Sangatlah mendesak untuk melatih mata manusia untuk menunda, daripada membiarkannya dalam sifat dunia digital yang aditif dan serial.

Dalam ruang virtual, mata bergerak secara mekanis dan algoritma, terlempar ke dalam banjir informasi, video dan gambar yang tidak menyisakan ruang untuk kesimpulan.

Di sini, mata dilatih untuk mempercepat persepsi, dan akibatnya, ia meremehkan penangguhan dan keheningan yang melekat dalam aktivitas membaca dan menulis. Seseorang dengan mata digital ini tidak bisa menjadi murid yang baik, pembaca yang baik atau guru yang baik.

Dalam pengertian ini, krisis pendidikan saat ini adalah krisis mata digital. Potensi perhatian yang luar biasa terdislokasi oleh cara hidup digital.

Memecahkan krisis pendidikan memerlukan, pertama dan terutama, revitalisasi vita contemplativa (hidup kontemplatif) yang memerlukan melatih mata untuk perhatian yang mendalam dan kontemplatif.

Gaya hidup digital seperti yang diketahui merupakan eksekutor kejam terhadap perhatian, ketahanan konsentrasi, berpikir filosofis, membaut wacana, dan mempertimbangkan segala sesuatu secara kritis, sistematis, dialogal dan terstruktur.

Diperlukan detoksifikasi mata manusia dari informasi digital yang berlebihan ini menuju mata nurani kemanusiaan yang mengamati. Mata nurani kemanusiaan adalah mata yang membebaskan dan memerdekan dari belenggu krisis perhatian digital dan perintah pasar bebas ekonomi kapitalisme neoliberal.

 

 

Redaksi Kompas Flores
Author: Redaksi Kompas Flores

Dari Flores Untuk Indonesia

Example 300250
Example 120x600

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *