KOMPAS Flores.COM – Beberapa tahun terakhir ini, selain didaruratkan oleh masalah kemiskinan, stunting, perdagangan manusia, bunuh diri, kekerasan seksual, korupsi, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, masyarakat di Flores, NTT juga harus menghadapi bencana alam seperti letusan gunung berapi di sejumlah titik, longsor, banjir, abrasi, gagal panen dan kekeringan.
Belum selesai masalah pengalihfungsian hutan lindung Hutan Bowosie, Labuan Bajo, Manggarai Barat, menjadi locus bisnis ekonomi pariwisata, masyarakat Flores dikejutkan oleh masuknya investor yang ingin mengeruk isi bumi di beberapa titik.
Floresa (25/01/2025) menyatakan bahwa di sepanjang Flores hingga Pulau Lembata di bagian timur saja diidentifikasi oleh pemerintah terdapat 16 titik proyek yakni Wae Sano, Ulumbu, Wae Pesi, Gou-Inelika, Mengeruda, Mataloko, Komandaru, Detusoko, Sokoria, Jopu, Lesugolo, Oka Ile Ange, Atadei, Bukapiting, Roma-Ujelewung dan Oyang Barang. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, seperti ditulis Floresa, Pulau Flores memiliki total potensi panas bumi 902 Megawatt, atau 65 persen dari total kapasitas di NTT.
Pada Kamis (05/06) lalu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara memberitakan bahwa ribuan masyarakat adat di pulau Flores, Nusa Tenggara Timur turun ke jalan berdemonstrasi menolak rencana pembangunan Geothermal di Poco Leok, Kabupaten Manggarai. Sesungguhnya aksi demonstrasi penolakan terhadap eksploitasi geothermal ini menggema di Flores sejak 2011 lalu hingga sekarang.
Agenda kebijakan pengalihfungsian hutan lindung menjadi bisnis ekonomi pariwisata tentu saja menghancurkan kelestarian hutan dan mengancam kelangsungan hidup masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Inilah model kapitalisasi ruang hidup dan masyarakat penghuninya di bawah komando kebijakan akumulasi melalui perampasan, perampasan dan permainan informasi di ruang publik digital, yang darinya timbul segala kekerasan, penindasan, pembisuan, reitifikasi, dan eksploitasi secara membabi buta terhadap masyarakat adat.
Kapitalisasi Ruang Hidup
Prinsip liberalisasi basar barangkali merupakan gagasan ekonomi yang paling mengkhawatirkan sejak 1970-an sampai hari ini. Hanya beberapa negara yang mengatakan dirinya anti-liberalisasi pasar, seperti China, negara bekas Uni Soviet dan sekutunya, negara-negara Eropa Timur, dan Indonesia salah satunya, ternyata penganut rahasia, seperti pembunuh berdarah dingin.
Budi Hardiman (2018: 126) mengatakan, “Prinsip pembebasan pasar mendorong ekspansi pasar ke wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak tersentuh komersialisasi, seperti seni, agama, pendidikan, pelayanan kesehatan, dst.”
Prinsip liberalisasi pasar tidak terikat pada wilayah geografis dan demografis tertentu, tetapi melampauinya. Liberalisai menjinakkan dan merombak seluruh tatanan sosial ekonomi, politik, tradisi, agama dan kebudayaan. Liberalisasi pasar mengandaikan adanya wilayah atau ruang dan waktu yang dikuasai, diatur dan dikendalikan oleh kaum kapitalis. Pembebasan pasar menimbulkan dan mereproduksi risiko dalam kelompok masyarakat yang tidak bermodal dan tidak punya akses terhadap alat-alat produksi.
Risiko-risiko lama – bencana, kelaparan, kemiskinan, pengangguran, kesepian masa tua, dan kematian – tidak tersembuhkan, malah diperhadapkan dengan risiko-risiko baru yang melampaui kesanggupan dan kewaspadaan.
Kaum miskin dan kelompok rentan sangat rawan diperdagangkan di dunia pasar – sebab pasar cenderung mengakumulasi segalanya sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan – terutama ketika tanah-tanah sudah dijual ke kaum kapitalis. Hal ini terbukti bila kita menyaksikan bangunan-bangunan di kota-kota dan di pabrik-pabrik selalu dilengkapi dengan tembok tinggi-tinggi, penjagaan yang ketat, CCTV lengkap, dan seterusnya.
Ketika kaum kapitalis merampas tempat/ruang, membangun tembok tinggi-tinggi, mempekerjakan saptam, menetapkan aturan kerja dan bersekongkol dengan aparatur negara, siapa lagi yang dapat mengakses ruang itu? Kalau kita sebagai orang asing/baru mau memasuki ruang privat itu, kita wajib membayar dan mengikuti aturan permainannya.
Di dalam ruang privat itu, atau dalam istilah Henri Lefebvre dalam bukunya The Productionof Space (1991) sebagai Ruang Abstrak – kita atau siapa pun yang berjalan mengitari ruang abstrak itu tidak akan tahu apa yang terjadi di dalamnya. Ruang abstrak seolah-olah menyediakan, memfasilitasi, menjustifikasi dan meningkatkan derajat eksploitasi itu. Aksi-aksi kekerasan di dalamnya. Bukankah justifikasi adalah sebuah kekerasan juga? (F. Budi Hardiman, 2018: 130).
Ruang abstrak adalah alat kekuasan, atau simbol kekuasaan—para penjual tenaga kerja di dalamnya tidak lagi dikontrol oleh pemilik kapital atau manajer atau pengaman, tetapi oleh ruang abstrak itu sendiri. Dengan demikian, ruang abstrak juga bukan merupakan hanya alat atau simbol kekuasaan yang mewakili pemilik ruang, melainkan adalah penguasa, pengendali, pengontrol, pengambil keputusan dan pengawas. Lagipula di dalam ruang abstrak, praktik kekerasan, dan kejahatan tidak dapat dijangkau oleh media massa, atau pengawasan hukum, ataupun dapat diawasi hukum, tetapi hukum diawasi oleh uang, kapital, kuasa.
Para kapitalis meyakini diri bahwa tindakan kekerasan yang mereka lakukan sebagai tindakan penyelamatan agar para pekerja dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Para kapitalis juga yakin bahwa dengan tindakan-tindakan seperti itu, selain membuat mereka meraup keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, mereka pun telah berhasil menyelamatkan para pekerja dari kemiskinan, kelaparan dan ancaman kematian.
Kekerasan di dalam ruang abstrak seolah-olah tidak hanya aspek justifikasi berperan, tetapi juga aspek motivasi liberalisasi pasar. Keduanya berkelindan: motivasi liberalisasi pasar menimbulkan justifikasi atas tindakan kekerasan, dan justfikasi atas tindakan kekerasan melanggengkan motivasi liberalisasi pasar.
Kita sepakat dengan Karl Marx dalam bukunya berjudul Capital A: Critique of Political Economy Volume I (1867, 1887, 1992: 519) bahwa “Taking the exchange of commodities as our basis, our first assumption was that capitalist and labourer met as free persons, as independent owners of commodities; the one possessing money and means of production, the other labour-power”.
John Cassidy (2025) menjelaskan: “capitalism survived the Great War, but it was about to meet its greatest test. During the Great Depression, economic output plunged, jobless rates skyrocketed, and political extremism flourished”. Menurut Cassidy, “the history of capitalism is usually told through accounts of depersonalized forces; competition, technology, colonialism, profit, and so on”.
Dengan demikian, proyek geothermal untuk kepentingan perluasan listrik, kemajuan dan peningkatan pendapatan daerah, dan buih-buih lainnya adalah bahasa yang digunakan kaum kolonial yang memperalat kekayaan masyarakat adat untuk kepentingan kompetisi bisnis pribadi dan keuntungan yang lebih dari proyek ini. (Bersambung)
*) Melki Deni, Mahasiswa Teologi Di Universidad Pontificia Comillas, Madrid, Spanyol.