Manggarai Timur,Kompasflores.Com – Bekas pengoperasian Alat berat mengeruk bebatuan dari Sungai Wae Laku. Itu terjadi di akhir tahun 2024. Tersembunyi praktik tambang yang diduga ilegal, berlangsung nyaris tanpa pengawasan selama bertahun-tahun.
PT Menara Armada Pratama (MAP), sebuah perusahaan kontraktor besar yang mengoperasikan aktivitas galian C di Desa Watu Mori, Kecamatan Ranamese, Kabupaten Manggarai Timur, disebut-sebut telah menambang pasir dan batuan sejak 2016 tanpa izin lingkungan yang sah.
Pantauan tim media ini pada Rabu (4/06/2025), di area tambang hanya terpampang papan informasi bertuliskan “Permohonan Izin Lingkungan” — bukan bukti izin lingkungan yang telah diterbitkan.
“Ini Bukan Sekadar Tambang. Ini Kejahatan.”
Itu pernyataan keras dari seorang warga lokal yang kami temui secara diam-diam di pinggir jalan desa yang sudah rusak berat akibat lalu lintas truk pengangkut material. Ia menolak namanya disebut karena khawatir akan intimidasi.
“Perusahaan ini sudah mengeruk batu dari sungai kami selama bertahun-tahun, tanpa kami tahu apakah mereka punya izin atau tidak. Yang kami tahu, sungai rusak, jalan rusak, sawah kami penuh debu,” ujarnya GS
Investigasi Kompas Flores mengungkap, sumber material batu pecah yang digunakan PT MAP berasal dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Wae Laku—sebuah kawasan vital untuk pertanian masyarakat sekitar.
Aktivitas tambang dilakukan dengan ekskavator berat, tanpa pembatas atau kajian dampak lingkungan yang dapat diakses publik.
Lebih mengejutkan lagi, material hasil tambang ini telah digunakan untuk sejumlah proyek pembangunan jalan milik pemerintah daerah.
Padahal, menurut Pasal 158 dan 161 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, aktivitas penambangan tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Pertambangan Rakyat (IPR) adalah tindak pidana dengan ancaman 10 tahun penjara dan denda Rp10 miliar.
Kerusakan Fisik dan Sosial yang Nyata
Tak hanya mencemari lingkungan fisik, aktivitas tambang ini juga merusak struktur sosial dan ekonomi warga.
Jalan desa yang dulunya berfungsi sebagai jalur distribusi hasil tani kini berlubang dan tergenang lumpur.
Truk-truk besar berlalu-lalang membawa batu pecah dari lokasi tambang, menyisakan debu pekat di rumah warga saat pengoperasian berlangsung di akhir tahun lalu.
“Tanah kami ini masuk wilayah pertanian. Tapi sekarang kami hidup seperti di kawasan industri. Truk lewat siang malam, sungai kering, dan kami tak pernah diajak bicara,” ujar seorang petani lain.
Investigasi kami juga menemukan bahwa limbah operasional—baik dari mesin stone crusher maupun pembuangan limbah manusia dari basecamp pekerja—dibuang langsung ke aliran sungai.
Ini menciptakan potensi pencemaran air yang tinggi bagi warga yang masih bergantung pada sungai sebagai sumber air bersih dan irigasi.
Diamnya Lembaga Resmi
Ketika dikonfirmasi melalui WhatsApp, pihak manajemen PT MAP tidak memberikan tanggapan. Pesan kami dibaca, namun tidak direspons. Sebuah sikap yang dianggap warga sebagai bentuk arogansi dan dugaan bahwa perusahaan merasa kebal hukum.
“Kalau mereka memang legal, tunjukkan izinnya ke publik. Tapi ini malah diam, dan pemerintah juga seolah tutup mata,” kata warga lainnya.
Kami mencoba menghubungi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi NTT, namun hingga berita ini diterbitkan, belum ada klarifikasi resmi yang diberikan.
Tuntutan Masyarakat: Segel dan Proses Hukum
Masyarakat kini menuntut tindakan tegas. Mereka mendesak Kapolres Manggarai Timur dan Dinas ESDM Provinsi NTT untuk segera menyegel lokasi dan memproses hukum pihak PT MAP atas dugaan pelanggaran undang-undang pertambangan dan lingkungan hidup.
“Kami minta AMP dan lokasi tambangnya disegel. Ini bukan proyek kecil-kecilan, tapi pengerukan besar-besaran dengan alat berat. Ini kejahatan, bukan kesalahan administratif,” tegas tokoh masyarakat setempat..
Jika benar bahwa material ilegal ini digunakan dalam proyek pemerintah, maka pertanyaan besar muncul: apakah ada pembiaran sistemik, atau bahkan dugaan kerja sama terselubung antara kontraktor dan pihak tertentu di pemerintahan?
Bukan Kasus Tunggal
Fenomena tambang ilegal berkedok “permohonan izin” bukan hal baru di Nusa Tenggara Timur. Sejumlah kasus serupa pernah muncul di kabupaten lain, namun tak banyak yang benar-benar berujung pada penegakan hukum. Banyak pelaku tambang ilegal berlindung di balik jaringan kekuasaan dan pengabaian aparat.
“Kalau dibiarkan, ini akan jadi preseden buruk. Pemerintah daerah kehilangan potensi pajak, lingkungan rusak, dan warga menderita,” ujar aktivis lingkungan yang ikut kami wawancarai.
Menanti Keberanian Aparat.
Kini, semua mata tertuju pada aparat penegak hukum dan instansi teknis di provinsi. Apakah mereka akan membiarkan pelanggaran ini terus berjalan, atau menegakkan hukum sebagaimana amanat undang-undang?
Satu hal pasti: kerusakan lingkungan tidak bisa diperbaiki hanya dengan permohonan izin di atas papan.
Penulis :Dion Damba