Di ruang abstrak kekerasan-kekerasan yang sulit dikontrol itu seolah-olah mendapat legitimasi dan bebas dari pengontrolan supremasi hukum negara. Jelas bahwa untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang lebih, kaum kapitalis harus merusakkan dan mereduksi kemanusiaan manusia. Dalam arti ini, liberalisasi pasar adalah sebuah gerakan anti-kemanusiaan dan anti-sistem politik yang memperjuangkan kemanusiaan universal, seperti demokrasi yang ditunggangi oleh kepentingan kebebasan, kesetaraan, kemanusiaan, solidaritas dan toleransi.
Wendy Brown dalam bukunya Undoing the Demos: Neoliberalism’s Stealth Revolution (2015:17) menjelaskan:
- “neoliberalism, a peculiar form of reason that configures all aspects of existence in economic terms, is quietly undoing basic elements of democracy. These elements include vocabularies, principles of justice, political cultures, habits of citizenship, practices of rule, and above all, democratic imaginaries… Markets and money are corrupting or degrading democracy, that political institutions and outcomes are increasingly dominated by finance and corporate capital, or that democracy is being replaced by plutocracy—rule by and for the rich.”
Di ruang abstrak kaum kapitalis neoliberal, supremasi hukum negara dan demokrasi kehilangan daya gigitnya. Aset-aset manusiawi para pekerja tidak dapat teraktualisasi jika tidak diubah menjadi komoditas. Selama ini sampai kapan pun liberalisasi pasar tidak mengurangi penderitaan dan mengatasi kemiskinan para pekerja, tetapi justru memberbanyak ancaman kematian, penderitaan, risiko, dan bahaya.
Merebut Kembali Ruang Publik
Bagaimana kita melampaui risiko yang ditimbulkan dan direproduksi oleh kaum kapitalis melalui agenda kapitalisasi ruang seperti perampasan ruang hidup dan ruang-ruang publik lainnya, menjadi bisnis pariwisata, dan mencapai kebebasan manusiawi, keadilan sosial, kebaikan bersama dan kesetaraan?
Satu-satunya harapan kita ialah demokrasi. Dalam negara seperti Indonesia yang menganut sistem demokrasi politik dan demokrasi ekonomi sebagaimana yang telah digarisbawahi oleh Mohammad Hata sejak awal 1930-an, segala bentuk ketimpangan sosial ekonomi akibat propaganda liberalisasi pasar harus dihadapi dengan demokrasi. Kekuatan demokrasi ekonomi mesti berperang melawan dan mengendalikan propaganda kapitalisasi ruang.
Demokrasi membuka dan menyediakan peluang-peluang kebebasan, keadilan, perjuangan perikemanusaan, permusyawaratan dan kesetaraan. Negara wajib menjamin dan memperjuangkan nilai-nilai demokrasi melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada masyarakat dan bertujuan demi keadilan seluruh masyarakat Indonesia, bukan malah menunggangi kepentingan plutokrat dan monster kleptokrat-feodal.
“Demokrasi akan menguntungkan demos bila terjadi sinergi antara sistem negara hukum dan masyarakat warga, tetapi jika sinergi itu absen, yang diuntungkan oleh demokrasi bukanlah demos, melainkan hanyalah minoritas yang memiliki akses ke dalam kratos”, yakni para oligark-kapitalis dan monster kleptokrat-feodal (Hardiman, 2013: 70).
Membenahi demokrasi tak cukup hanya terejawantahkan melalui sepremasi hukum normatif dan penegakan hukum secara elitis-biroktratis. Diusahakan pendidikan demokrasi dan kewarganegaraan yang menegaskan bahwa demokrasi lebih berciri kesataraan, keadilan dan kebebasan, dan berpihak pada kemanusiaan. “Demokrasi, lebih tepatnya demokratisasi, adalah upaya melibatkan semua pihak dalam proses pengambilan keputusan agar tidak ada lagi yang direnggut hak-haknya.” (Anggara Indraswara, 2018), atau demokrasi kebijakan dan pengambilan keputusan demi kebaikan semua warga.
Masyarakat Indonesia dapat “melepaskan diri dari moncong oligark-kapitalis ‘dan monster kleptokrat-feodal’, hendaknya tidak melarikan diri dari demokratisasi, melainkan melanjutkannya, karena kelemahan dan kekurangan demokrasi harus diatasi dengan demokratisasi.” (F. Budi Hardiman, 2013: 71).
Bila selama ini demokrasi kita dikepung dan dibajak oleh liberalisasi pasar – demokrasi seolah-olah membuka ruang liberalisasi pasar melalui propaganda kapitalisasi ruang publik – kita sekarang mesti merebut kembali ruang itu dengan gerakan-gerakan demokrastisasi.
Ketika makin fetis oligark-kapitalis dan monster kleptokrat-feodal terhadap kekayaan melalui perampasan, makin banyak uang yang dibutuhkan untuk memenuhi isi kepala dan perutnya.
Upaya merebut kembali ruang demokratis ini dapat dilakukan dengan konsolidasi ilmiah, dan konsolidasi gerakan sosial anti-kapitalisasi ruang. Konsolidasi gerakan dari bawah yang menolak kebijakan kapitalisasi ruang merupakan komunikasi politik yang berciri demokratis, atau lebih tepatnya agenda dasariah dari proses demokratisasi.
Apabila kita dapat merebut kembali ruang demokrasi, artinya, ruang kehidupan bersama yang bebas emansipatoris dan tanpa diprepresi atau dirampas, peluang untuk mengendalikan dan membajak kebijakan kapitalisasi ruang publik dan masyarakat adat di dalamnya semakin terbuka dan terlegitimasi. Tetapi harus diingat, hanya manusia yang dapat melakukan perlawanan dan penolakan terhadap proyek geothermal di Pulau Flores! Kalau masih manusia, mari kita lawan orang-orang (oligark-kapitalis dan monster kleptokrat-feodal), dan tolaklah proyek geothermal!
*) Melki Deni, Mahasiswa Teologi Di Universidad Pontificia Comillas, Madrid, Spanyol.