Sumpah Pemuda atau Sampah Pemuda? Sebuah Refleksi tentang Krisis Identitas Generasi Digital
- account_circle Arjuna Putra
- calendar_month Sen, 27 Okt 2025
- visibility 424
- comment 0 komentar

Penulis Opini: Wilbertus Grinyon Britanye Alumni fisip UNWIRA Kupang (Dok. Pribadi)
Oleh Wilbertus Grinyon Britanye, Alumni FISIP UNWIRA Kupang
KUPANG, KOMPASFLORES.COM – Setiap kali kita memperingati Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober, kita seolah diingatkan kembali pada semangat besar anak muda tahun 1928 yang menanggalkan perbedaan suku, agama, dan bahasa demi cita-cita bersama, yaitu Indonesia yang bersatu dan berdaulat. Namun, sembilan puluh tujuh tahun setelah peristiwa itu, ada begitu banyak pertanyaan kritis yang sering kali muncul, antara lain: apakah semangat Sumpah Pemuda itu masih hidup dalam diri generasi muda masa kini? Atau justru berubah menjadi “Sampah Pemuda” — generasi yang kehilangan arah, larut dalam arus hedonisme, dan terjebak dalam krisis identitas digital?
Dalam kajian sosiologi kontemporer, generasi muda saat ini sering disebut sebagai generasi digital atau Generasi Z, yaitu generasi yang lahir dan tumbuh di tengah kemajuan teknologi informasi. Mereka akrab dengan dunia maya, hidup dalam budaya instan, dan membangun identitas diri melalui media sosial. Namun, menurut teori Erik Erikson tentang identity crisis (1994), fase remaja dan dewasa muda adalah masa pencarian jati diri. Di sinilah muncul persoalan — ketika pencarian identitas itu tidak lagi dibangun lewat nilai dan perjuangan, melainkan lewat citra dan validasi digital.
Banyak pemuda hari ini membangun “aku” berdasarkan likes, followers, dan views, bukan lagi pada kontribusi sosial atau kualitas berpikir. Fenomena semacam ini menciptakan krisis identitas generasi digital, di mana nilai, idealisme, dan makna perjuangan bergeser menjadi simbol popularitas semu. Akibatnya, semangat kebangsaan yang dulu menyatukan pemuda berubah menjadi semangat kompetisi sosial yang memisahkan.
Padahal, Sumpah Pemuda tahun 1928 bukan hanya deklarasi politik, tetapi juga bentuk gerakan sosial (social movement) yang lahir dari kesadaran kolektif akan pentingnya persatuan. Para pemuda waktu itu menghidupi semangat solidaritas dan tanggung jawab. Mereka tidak sekadar menuntut perubahan, tetapi menjadi pelaku perubahan. Dalam bahasa teori Habermas (1981), mereka menjalankan tindakan komunikatif, yakni berdebat dan berdialog demi kepentingan bersama — bukan demi ego pribadi.
Ironisnya, pemuda masa kini sering kali justru terjebak dalam tindakan strategis yang berorientasi pada kepentingan pribadi: popularitas, kenyamanan, dan pengakuan. Hal ini tampak dari fenomena media sosial yang membentuk budaya pamer dan kompetisi status. Akibatnya, nilai perjuangan, empati, tanggung jawab sosial, dan daya berpikir kritis mulai menipis.
Pemuda-pemudi milenial seakan-akan amnesia. Perjuangan di jalan berakhir dengan negosiasi, lalu pulang menepuk dada: “Aku pejuang revolusi.” Jangan memasang topeng kemunafikan — pengorbananmu tak membara seperti darah yang tumpah. Lihatlah, di sana ada yang menangis, ada yang mendera; ada yang tidur beralaskan tanah beratapkan langit; ada yang sedang berjuang mengusir para investor, rumahnya digusur. Mereka tak punya tempat membayar rindu. Hutan-hutan habis dibabat, gunung-gunung dijadikan tambang — yang dulu jadi rahim kehidupan, kini jadi kuburan bagi para katak dan burung-burung yang kehilangan rumah. Ingat, kita tak mungkin hidup dari limbah industri.
Makna dari refleksi “Sumpah Pemuda atau Sampah Pemuda” seharusnya menjadi panggilan moral bagi kita semua. Apakah kita masih memaknai sumpah itu sebagai ikrar perjuangan, atau hanya simbol upacara tahunan tanpa makna? Bangsa ini tidak membutuhkan pemuda yang viral dan mengejar popularitas dengan memanfaatkan platform media sosial, tetapi pemuda yang bernilai dan memiliki prinsip hidup. Tidak butuh pemuda yang ramai di dunia maya, tetapi sunyi di dunia nyata.
Sumpah Pemuda harus terus hidup dalam konteks baru — bukan sekadar satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa, tetapi juga satu komitmen untuk berkontribusi nyata. Jika generasi 1928 bersatu melawan penjajahan fisik, maka generasi sekarang harus bersatu melawan penjajahan modern: kemalasan, kebodohan, dan ketidakpedulian.
Seperti kata Bung Karno, “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncang dunia.” Hari ini, dunia tidak butuh sepuluh pemuda yang hanya sibuk mengguncang timeline, tetapi sepuluh pemuda yang mengguncang hati nurani — yang mampu berpikir kritis, beraksi nyata, dan menjaga semangat persatuan di tengah keberagaman. Mari jadikan “aku” di antara kita, dan mulailah bangkit serta melawan, atau kita akan memperpanjang garis perbudakan.
- Penulis: Arjuna Putra
- Editor: Dion Damba


Saat ini belum ada komentar